Bangunan Hijau untuk Indonesia Hijau

February 11, 2022

Penulis : Giska Raissa, S.T., M.U.P.

Pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan istilah global warming tanpa disadari sudah mulai dirasakan akibatnya oleh seluruh umat manusia. Mulai dari perubahan cuaca yang ekstrem, berbagai bencana alam seperti banjir dan kekeringan, sampai dengan munculnya berbagai penyakit baru di dunia (Etkin, Medalye, dan Higuchi 2012; Rossati, 2017). Tidak banyak yang menyadari bahwa pembangunan khususnya sektor bangunan menjadi kontributor terbesar dalam produksi gas emisi yang mendorong terjadinya pemanasan global (Williams, 2007). Pembangunan bukanlah hal yang dapat ditunda mengingat kebutuhan sarana dan prasarana yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah populasi manusia di dunia dan secara khusus di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pembangunan yang berkelanjutan dan juga gerakan bangunan hijau di Indonesia yang membantu mengurangi dampak pemanasan global. Artikel ini disusun dengan tujuan untuk menjelaskan pentingnya konsep keberlanjutan dan gerakan bangunan hijau dalam usaha mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Pemanasan Global, Perubahan Iklim dan Pembangunan

Secara singkat pemanasan global dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi peningkatan suhu planet bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia (Rossati, 2017). Peningkatan suhu ini terjadi karena meningkatnya kadar gas karbon dioksida, gas metan dan gas polutan lainnya di atmosfer. Berbagai gas tersebut merupakan gas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi panas matahari menjadi terperangkap di atmosfer bumi (Michaelis, 1992). Perubahan suhu permukaan bumi dengan cepat mendorong terjadinya perubahan iklim. Selain mencairnya gletser atau lapisan es di kutub utara dan selatan, perubahan iklim juga mengakibatkan berbagai bencana alam yang terjadi secara global seperti kekeringan yang ekstrem, banjir, kebakaran hutan, dan badai topan (Etkin, Medalye, dan Higuchi 2012).

Perlu diketahui bahwa salah satu sumber penghasil emisi gas rumah kaca karbon dioksida terbesar di dunia adalah sektor bangunan, yaitu sebesar 39% (Ahmed, Ahmad, dan Yusup, 2020). Sebagai perbandingan, sektor transportasi yang sering dianggap sebagai sumber masalah polusi udara, berkontribusi sebesar 22% (Ahmed, Ahmad, dan Yusup, 2020). Energi tahunan yang diperlukan untuk mengoperasikan bangunan residensial, komersial dan industrial ditambah dengan energi yang digunakan untuk memproduksi material-material bangunan seperti keramik, kaca, beton, baja dan lain sebagainya, menjadikan bangunan tempat manusia melakukan berbagai aktivitas sebagai sektor pengguna energi dan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar melampaui sektor lainnya (Bergman, 2013; Williams 2007). Selain itu perlu diketahui bahwa rata-rata bangunan memiliki umur operasional selama 50 bahkan hingga 100 tahun, dan selama itu bangunan akan terus mengonsumsi energi dan menghasilkan emisi (Williams, 2007).

Menghentikan kegiatan pembangunan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca bukanlah solusi yang tepat. Bagaimanapun juga pembangunan tetap harus terus dilakukan mengingat jumlah populasi manusia yang semakin bertambah menuntut penyediaan sarana dan prasarana yang cukup untuk manusia dapat beraktivitas dan hidup dengan sejahtera. Disinilah peran agen pembangunan salah satunya arsitek untuk mendorong pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Kenyataannya, arsitek tahu bahwa bangunan sebenarnya dapat didesain untuk dapat beroperasi dengan kurang dari setengah energi rata-rata yang digunakan bangunan selama ini melalui proses perancangan yang tepat (William, 2007). Desain memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk membentuk bangunan bahkan pola hidup manusia yang menggunakannya (Bergman, 2013).

Konsep Keberlanjutan dalam Sektor Bangunan dan Konstruksi

Secara umum konsep keberlanjutan memiliki pengertian pemenuhan kebutuhan manusia hari ini tanpa merugikan generasi masa depan untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka (UN World Commission on Environment and Development). Secara khusus konsep keberlanjutan dalam sektor bangunan dan konstruksi menyatakan proses desain, konstruksi dan pengoperasian yang menggunakan sumber daya dan energi dengan efisien serta mampu mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan (Bergman, 2013). Bangunan yang berkelanjutan justru akan memberikan kontribusi yang positif pada lingkungan dan terutama meningkatkan kualitas hidup manusia yang menggunakannya. Pada akhirnya konsep keberlanjutan pada sektor bangunan dan konstruksi akan memberikan solusi untuk menyelesaikan tantangan pada tiga pilar keberlanjutan yaitu tantangan ekonomi, sosial dan lingkungan. Di saat yang bersamaan konsep keberlanjutan menekankan pentingnya tahap awal pembangunan yaitu proses desain. Pada tahap desain seluruh konsep keberlanjutan dapat diintegrasikan sebagai solusi rancangan. Selain itu, proses desain yang komprehensif ini menuntut kerja sama interdisiplin yang kuat.

Williams (2007) mengatakan bahwa desain bangunan dan konstruksi yang mengintegrasikan konsep keberlanjutan akan mempertimbangkan tiga elemen penting dalam tahap awal proses merancang, antara lain connectivity (konektivitas), indigenous (asli atau kearifan lokal), dan long life-loose fit (panjang umur-fleksibel). Connectivity menyatakan bagaimana hasil rancangan dapat memperkuat hubungan antara bangunan dengan konteks, lingkungan dan komunitas. Indigenous menekankan pada hasil rancangan yang merespon keaslian dan kearifan lokal yang sudah ada di dalam tapak selama ratusan tahun, termasuk di dalamnya pemanfaatan energi yang sudah tersedia pada tapak. Sedangkan elemen long life-loose fit menyatakan bagaimana bangunan dapat menjadi bangunan yang tanggap dan bertahan dalam waktu yang lama dengan berbagai dinamika yang terjadi seperti perubahan penghuni, aktivitas di dalam bangunan, dan koteks. Seluruh elemen dari konsep keberlanjutan tersebut kemudian diwujudkan dalam satu konsep bangunan hijau.

Bangunan Hijau di Indonesia

Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia karena hutan hujan tropisnya, justru tidak luput dari persoalan yang diakibatkan oleh pemanasan global. Berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, badai topan dan tanah longsor, tanpa disadari merupakan gejala dari perubahan iklim yang sebenarnya diakibatkan oleh kegiatan pembangunan dan aktivitas manusia yang menghasilkan karbon dioksida dan berbagai gas emisi lainnya. Bahkan sampai saat ini aktivitas deforestasi yang masih terus terjadi telah mengubah hutan hujan tropis di Indonesia menjadi ladang dan juga concrete jungle (hutan beton). Solusi untuk menghentikan kegiatan pembangunan dan aktivitas manusia tentu tidak dapat dilakukan begitu saja. Perlu diketahui bahwa pertambahan jumlah penduduk di Indonesia dalam satu dekade terakhir (2010-2020) mencapai 1,25% setiap tahunnya, dimana pada tahun 2010 jumlah populasi manusia di Indonesia adalah 241,8 juta jiwa dan pada tahun 2020 telah mencapai 270,2 juta jiwa (BPS, 2021). PBB bahkan memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2050 akan mencapai 300 juta jiwa. Situasi tersebut memberikan implikasi perlunya percepatan pembangunan untuk mengakomodasi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Sayangnya peningkatan tersebut tidak akan disertai dengan peningkatan luasan daratan yang sangat terbatas dan sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Mengingat sektor bangunan dan konstruksi menjadi salah satu pengguna sumber energi dan kontributor terbesar dalam produksi gas rumah kaca, diperlukan suatu konsep yang mampu mengurangi bahkan menghilangkan dampak buruk dari sektor bangunan dan konstruksi pada lingkungan. Di saat yang bersamaan justru diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik bagi perbaikan kualitas lingkungan dan hidup manusia. Penerapan konsep bangunan hijau adalah upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Konsep bangunan hijau memiliki prinsip-prinsip keberlanjutan yang merespon pada tuntutan bangunan ramah lingkungan dan hemat sumber daya, mulai dari tahap perancangan, konstruksi, penggunaan/operasi, perawatan, bahkan renovasi (Council, U.G.B., 1996). Prinsip-prinsip perancangan berkelanjutan dari bangunan hijau yang harus diterapkan di Indonesia antara lain meliputi: (1) menentukan tapak atau lahan bangunan dengan tepat; (2) mengupayakan konservasi dan penggunaan energi dengan efisien; (3) memanfaatkan air dengan tepat dan efisien; (4) mengupayakan konservasi sumber daya dan memaksimalkan siklus material; (5) memaksimalkan kualitas kesehatan dalam bangunan; serta (6) memaksimalkan pengelolaan bangunan (Bergman, 2013).

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bangunan hijau tidak hanya mengurangi secara signifikan dampak pemanasan global dan perubahan iklim, tapi juga meningkatkan kualitas kehidupan serta produktivitas manusia yang menggunakannya (Bergman, 2013; Williams, 2007). Bangunan hijau bukanlah barang mewah yang tidak dapat diterapkan di Indonesia karena justru konsep ini sebenarnya adalah solusi yang terjangkau dan terbaik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sebagian besar diakibatkan oleh sektor bangunan dan konstruksi. Kesadaran pentingnya konsep bangunan hijau bukan hanya menjadi urusan dari arsitek ataupun engineer saja, tapi seluruh masyarakat melalui berbagai metode edukasi yang sesuai.

Daftar Pustaka

Ahmed Ali, K., Ahmad, M.I. and Yusup, Y., 2020. Issues, impacts, and mitigations of carbon dioxide emissions in the building sector. Sustainability, 12(18), p.7427.

Bergman, D., 2013. Sustainable Design: A Critical Guide. Princeton Architectural Press.

Badan Pusat Statistik (BPS) diakses dari http://www.bps.go.id/, diakses pada tanggal 13 Agustus 2021.

Council, U.G.B., 1996. Sustainable building technical manual: green building design, construction, and operations.

Etkin, D., Medalye, J. and Higuchi, K., 2012. Climate warming and natural disaster management: An exploration of the issues. Climatic change, 112(3), pp.585-599.

Michaelis, P., 1992. Global warming: efficient policies in the case of multiple pollutants. Environmental and Resource Economics, 2(1), pp.61-77.

Rossati, A., 2017. Global warming and its health impact. The international journal of occupational and environmental medicine, 8(1), p.7.

Williams, D.E., 2007. Sustainable design: ecology, architecture, and planning. John Wiley & Sons.

 

RELATED POSTS