Analisa Kontribusi Berbagai Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Perubahan Menuju Bangunan Hijau di Indonesia

January 12, 2022

Penulis : Filia Christy, B.Envs., M.Arch.

Intensitas peningkatan pemanasan global pada beberapa tahun belakangan ini mendorong urgensinya perubahan, dimana suhu bumi berpotensi melampaui kenaikan 1,5 derajat celcius yang adalah target semula (IPCC, 2021). Mengingat bahwa bangunan berkontribusi terhadap 38% emisi CO2 secara global (GABC, 2020), maka industri bangunan menjadi sorotan penting dalam membawa perubahan terhadap pemanasan global. Dalam konteks Indonesia, peran dari berbagai pemangku kepentingan menjadi sangat kritis dalam mengelola perubahan, seperti kebijakan pemerintah terkait bangunan berkelanjutan, institusi bangunan berkelanjutan, pelaku industri bangunan dan setiap individu yang bersinggungan dalam penggunaan gedung. Esai ini berargumen bahwa kerangka pengelolaan perubahan (change management framework) perlu diterapkan dalam memahami perkembangan bangunan hijau di Indonesia berdasarkan kontribusi berbagai pihak seperti pemerintahan, institusi dan pemain industri bangunan. Dengan menggunakan konsep Zero Touch Change Management Framework, konstribusi setiap pemangku kepentingan dan personal dapat dianalisis dan ditelaah untuk perencaaan strategis dalam pengelolaan perubahan menuju bangunan hijau.

Didalam setiap proses transformasi, diperlukan suatu kerangka pikir dalam pengelolaan perubahan. Salah satu teori dalam mengelola perubahan di zaman digital disebut sebagai Zero Touch Change Management Framework yang dicanangkan oleh Wipro Digital Consulting (Jha, 2020). Aspek dari Zero Touch Change Management Framework adalah:

  • Keselarasan Kepemimpinan (Leadership Alignment)
  • Visi untuk Perubahan (Vision for Change)
  • Komunikasi (Communication)
  • Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training)
  • Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement)
  • Keselarasan Organisasi (Organization Alignment)
  • Kesiapan dan Adopsi Bisnis (Business Readiness and Adoption)
  • Budaya dan Perilaku (Culture and Behavior)

Setiap aspek tersebut diperlukan dalam berpindah dari status semula menjadi status masa depan, melalui kepemimpinan, kesadaran, eksplorasi, pemahaman, realisasi, dan penerimaan (Jha, 2020). Maka, kerangka pikir Zero Touch Change Management ini menjadi berguna dalam menelaah perkembangan perubahan menuju bangunan hijau di Indonesia.

Gambar 1. Skema Zero Touch Change Management Framework oleh Wipro Digital Consulting (Jha, 2020).

Dari segi Pemerintah Indonesia, penerapan kebijakan dalam skala nasional dan daerah menjadi penting dalam bagian pengelolaan perubahan menuju bangunan hijau. Keselarasan kepemimpinan (leadership alignment) dan visi untuk perubahan (vision for change) dapat terlihat dari komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti pemanasan global dan Persetujuan Paris yang dituangkan dalam UU No. 16 Tahun 2015 dan dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) beserta strategi implementasinya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Secara nyata dalam konteks bangunan hijau, pemerintah daerah telah mengupayakan kebijakan bangunan gedung hijau seperti Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 38 Tahun 2012 dan Peraturan Walikota Bandung No. 1023 Tahun 2016. Lalu pada tahun 2021, kebijakan tentang Bangunan Gedung Hijau (BGH) telah ditetapkan secara nasional melalui Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2021. Peraturan berisi kriteria-kriteria penting dalam bangunan hijau seperti pengelolaan lahan, energi, air, bahan, sampah dan udara. Hal ini menunjukkan kesadaran pemerintah akan urgensinya bangunan hijau dan kontribusi pemerintah dalam pengelolaan perubahan bangunan berkelanjutan yang semakin meningkat pada beberapa dekade belakangan ini.

Dari segi institusi, keaktifan dalam komunikasi (communication), pendidikan, dan pelatihan (education and training) menunjukkan peranan yang besar dalam pengelolaan perubahan menuju bangunan hijau. Institusi nirlaba seperti Green Building Council Indonesia (GBCI, 2021) telah menunjukkan visi dalam mentransformasi pasar menuju bangunan hijau lewat advokasi kepada pemerintahan, industri, institusi pendidikan tinggi dan lain sebagainya. Lalu, pengembangan sistem penilaian/rating tools dalam bangunan hijau bernama Greenship bertujuan meningkatkan mutu bangunan yang terukur dan tersertifikasi. Lalu, melalui pendidikan berbasis pelatihan baik bagi orang awam dan profesional di bidang arsitektur, konstruksi dan teknik menunjukkan inisiatif yang besar menuju bangunan hijau. Selain itu, institusi perguruan tinggi juga berperan dalam membentuk calon pelaku industri masa depan yang memahami pentingnya bangunan berkelanjutan, yang dapat direalisasikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan formal yang menuju pada bangunan hijau.

Selain daripada pihak pemerintahan dan institusi, keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder engagement) dari industri menjadi penting dalam pengelolaan perubahan. Perusahaan dalam bidang arsitektur, konstruksi, teknik sipil, struktur, mechanical, electrical dan plumbing (MEP) perlu mempunyai keselarasan organisasi (organization alignment) dan visi menuju bangunan hijau. Kemudian, visi tersebut perlu dituangkan dalam bentuk langkah-langkah konkrit beserta indikator pencapaian agar kinerja dapat terukur dan pengelolaan perubahan dapat terkontrol dengan baik. Pada tahun 2019, jumlah bangunan di Indonesia yang tersertifikasi sebagai green building oleh GBCI masih sejumlah 49 (Hamonangan & Himawan, 2019), yang menunjukkan belum banyak pemain industri yang menekankan pentingnya memiliki bangunan hijau. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah tantangan dalam perubahan paradigma dan cara kerja, dari yang terdahulunya menghasilkan bangunan boros energi menjadi bangunan hijau yang efisien dan hemat energi. Hal ini menuntut adanya kesiapan dan adopsi bisnis (business readiness and adoption) untuk merealisasikan visi bangunan hijau secara nyata. Selain itu, peranan konsultan yang berspesialisasi dalam bangunan berkelanjutan menjadi sangat dibutuhkan dalam perubahan yang siginifikan dalam mengubah komposisi pemain industri yang mengedepankan bangunan hijau.

Setelah pihak pemerintah, institusi dan industri bekerjasama dalam menjalankan perubahan, maka hasil yang diharapkan adalah adanya perubahan budaya dan perilaku (culture and behavior) masyarakat dan pasar menuju bangunan hijau. Tanpa didukung oleh kekuatan massa, maka laju kemajuan perubahan di Indonesia akan sangat lambat. Meskipun studi telah menyatakan bahwa bangunan berkelanjutan tidak selalu identik dengan harga yang lebih mahal dan bahkan mampu mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang, tetap saja keinginan pasar tidak mudah untuk dirubah (Nugroho, 2020). Ditengah kultur kapitalisme yang tidak seimbang, maka masyarakat perlu kembali memperhatikan tiga pilar pengembangan keberlanjutan, yakni lingkungan, sosial dan ekonomi. Keuntungan monetari harus dikaji juga dari sisi dampak lingkungan dan sosial. Jika semakin banyak masyarat Indonesia memahami dan melaksanakan prinsip keberlanjutan tersebut secara seimbang, maka Indonesia akan semakin cepat berubah menuju masyarakat berbudaya dan berperilaku hijau.

Sebagai kesimpulan, analisa terhadap perkembangan di Indonesia terkait pengelolaan perubahan menuju bangunan hijau menunjukkan langkah yang baik dan nyata dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan menggunakan kerangka pikir Zero Touch Change Management, dapat terlihat bahwa pemerintahan, institusi, industri dan masyarakat memiliki peranan masing-masing dalam mewujudkan perubahan. Melihat perkembangan terkini dalam kebijakan nasional pemerintah terkait Bangunan Gedung Hijau dan kegigihan advokasi oleh berbagai institusi, maka diharapkan cepat atau lambat industri dan masyarakat akan ikut menyadari dan berkomitmen dalam berubah menuju bangunan hijau di Indonesia.

Referensi

Global Alliance for Buildings and Construction. (2020). Global Status Report For Buildings And Construction. https://globalabc.org/sites/default/files/inline-files/Buildings%20GSR_Executive_Summary%20FINAL_0.pdf.

Green Building Council Indonesia (2021). Green Building Council Indonesia. https://www.gbcindonesia.org/

Hamonangan, J. & Himawan, A. (2019). Jumlah Gedung Bersertifikat Green Building di Indonesia Masih Minim. Wartakota. https://wartakota.tribunnews.com/2019/09/24/jumlah-gedung-bersertifikat-green-building-di-indonesia-masih-minim.

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2021). Climate Change 2021: The Pysical Science Basis. Sixth Assessment Report. https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg1/.

Jha, M. (2020, April 20). Changing Change Management with Zero-Touch Intervention. Wipro Digital. https://wiprodigital.com/2020/04/20/changing-change-management-with-zero-touch-intervention/.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Strategi Implementasi NDC. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/strategi_implementasi_ndc.pdf.

Nugroho, B. (2020). The Concept of Sustaniability. Green Building Council Indonesia, Training Greenship Associate.

RELATED POSTS

Bangunan Hijau untuk Indonesia Hijau

Bangunan Hijau untuk Indonesia Hijau

Penulis : Giska Raissa, S.T., M.U.P. Pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan istilah global warming tanpa disadari sudah mulai dirasakan...