Penulis: Lius Daniel, Ph.D
Fermentasi merupakan proses perubahan (konversi) komponen dalam suatu bahan pangan melalui aktivitas enzimatik atau mikroorganisme. Pada fermentasi, terjadi pembentukan senyawa-senyawa seperti asam organik dan alkohol yang dapat bermanfaat sebagai pengawet, antioksidan, maupun penambah rasa [1]. Awalnya, fermentasi digunakan untuk mengawetkan bahan pangan makanan karena asam organik dan alkohol yang terbentuk mampu membunuh mikroorganisme asing. Namun, dewasa ini fermentasi banyak digunakan untuk menghasilkan produk pangan dengan cita rasa yang unik dan memiliki manfaat kesehatan. Tempe, tapai, wine, yoghurt adalah beberapa produk fermentasi yang sudah dikonsumsi secara luas.
Kombucha adalah salah satu produk fermentasi yang diperoleh dari air seduhan teh yang difermentasi oleh simbiosis kultur bakteri dan khamir atau yang dikenal sebagai SCOBY. Bakteri yang terdapat dalam kultur ini didominasi oleh bakteri asam laktat seperti Acetobacter xylinum, Acetobacter xylinoides, Bacterium gluconicum, sedangkan Schizosaccharomyces pombe, Saccharomycodes ludwigii, dan Saccharomyces cerevisiae adalah beberapa jenis khamir yang ditemukan dalam SCOBY [2]. Kombucha pertama kali dikenal sejak 220 SM karena khasiat kesehatannya di Manchuria [3]. Produk fermentasi teh ini kemudian menjadi popular di Rusia dan Eropa timur.
Fermentasi oleh kultur kombucha menghasilkan dua fasa, yaitu (i) bagian lapisan selulosa pada permukaan minuman yakni kultur (SCOBY) dan (ii) cairan teh dengan rasa manis asam yang khas, yaitu kombucha. Selama proses fermentasi, terjadi perubahan gula menjadi senyawa-senyawa asam, vitamin B kompleks, vitamin C, asam folat dan alkohol, sehingga kombucha memiliki rasa asam dan aroma alkohol. Senyawa-senyawa yang terbentuk selama fermentasi juga memiliki aktivitas antioksidan, sehingga menjadikan kombucha sebagai salah satu minuman fungsional yang memiliki manfaat bagi kesehatan.
Fermentasi kombucha merupakan salah satu modul Laboratorium Teknologi Kimia II Tahun Ajaran 2021/2022 yang dilakukan oleh mahasiswa program studi Chemical and Food Processing. Pada praktikum ini, kombucha dibuat dari fermentasi berbagai jenis teh seperti teh hitam, hijau, oolong, dan teh putih. Selain jenis teh, variabel lain seperti jumlah cairan inang (mother tea), konsentrasi gula, dan penambahan perisa juga divariasikan untuk mengevaluasi pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap produk kombucha yang dihasilkan. Kombucha hasil praktikum juga diuji dan dibandingkan dengan kombucha komersial untuk mendapatkan standar parameter kombucha yang diterima dan disukai pasar. Beberapa parameter yang diuji adalah pH, total asam tertitrasi, kandungan gula, dan uji organoleptik rasa dari sampel kombucha yang diambil setiap 2 hari selama 7 hari pengamatan. Melalui praktikum pembuatan kombucha ini, mahasiswa dilatih untuk membuat kombucha secara mandiri dan menentukan variabel-variabel yang penting dalam menghasilkan kombucha yang dapat diterima oleh pasar.
Dengan inokulasi SCOBY berukuran setengah lingkaran dengan diameter 10 cm dan tebal 1 cm, pH kombucha terus mengalami penurunan seiring fermentasi mulai dari pH pada kisaran 3,5 hingga 2,5 setelah 7 hari (lihat gambar di bawah). Sebaliknya, total asam tertitrasi meningkat dari ~10 mM menjadi ~50-60 mM setelah 7 hari. Nilai ini cukup dekat dengan kombucha komersial yang memiliki pH 2.6. Sementara itu, kadar gula pada kombucha komersial didapati lebih rendah hingga setengah dari kombucha yang dibuat dengan kosentrasi gula ~13 gram/mL larutan. Temuan ini menunjukkan bahwa kosentrasi gula yang optimum adalah sebesar ~6-7 gram gula pasir (sukrosa)/mL larutan. Praktikum ini ditutup dengan kesimpulan dari hasil organoleptik yang membandingkan kombucha dari berbagai jenis teh dengan dan tanpa tambahan perisa. Berdasarkan uji organoleptik oleh 10 panelis, kombucha dari teh oolong dengan kadar gula rendah merupakan kombucha yang paling digemari mengungguli teh hijau, hitam, putih bahkan produk komersial kombucha.
Referensi
[1] M. L. Marco, D. Heeney, S. Binda, C. J. Cifelli, P. D. Cotter, B. Foligné, M. Gänzle, R. Kort, G. Pasin, A. Pihlanto, et al., Curr. Opin. Biotechnol. 2017, 44, 94–102.
[2] G. Sreeramulu, Y. Zhu, W. Knol, J. Agric. Food Chem. 2000, 48, 2589–2594.
[3] C. J. Greenwalt, K. H. Steinkraus, R. A. Ledford, J. Food Prot. 2000, 63, 976–981.