CIT Logo White
2

Aplikasi Genome Editing Tool CRISPR-Cas untuk Deteksi dan Terapi SARS-CoV-2

January 12, 2022

Penulis : Edvan A. Suherman, S.Si., M.Si., Jeanne E. Christian, S.Si., M.Biomed.

 

Pandemi COVID-19 yang kita alami sejak awal Maret 2020 hingga sekarang bukanlah yang pertama kali terjadi di dunia. Sejarah mencatat bahwa berbagai wabah penyakit menular terjadi berulang kali. Pandemi yang disebut Black Death terjadi di abad ke-14, Flu Spanyol di tahun 1918, SARS di tahun 2002-2003, flu babi/H1N1 di tahun 2009, MERS di tahun 2012, Ebola di tahun 2014-2016, dan Zika di tahun 2015-2016 (Huremović, 2019). Setiap kali terjadi pandemi, selalu ada hambatan dalam meresponi ancaman virus yang muncul. Hambatan tersebut adalah ketiadaan atau kurangnya pengujian/tes untuk mendeteksi virus dengan cepat, akurat, dan mudah diakses (Broughton dkk., 2020).

Tes yang sudah banyak digunakan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 menggunakan metode quantitative RT-PCR (qRT-PCR) dan serologi. Akan tetapi, kedua metode deteksi tersebut memiliki kelemahan. Metode qRT-PCR membutuhkan waktu 4-6 jam untuk mendeteksi virus (Broughton dkk., 2020). Metode serologi memang bereaksi dengan cepat dan tidak memerlukan peralatan mahal. Namun demikian, metode ini hanya mendeteksi antibodi yang melawan infeksi SARS-CoV-2 dan tubuh memerlukan waktu beberapa hari hingga minggu untuk memproduksi antibodi hingga kadarnya cukup tinggi untuk dapat terdeteksi (Zhang dkk., 2020).

Apakah ada tes alternatif yang menghilangkan kelemahan-kelemahan dari metode qRT-PCR dan metode serologi? Apa kaitan antara genome editing tool CRISPR-Cas dan COVID-19? Artikel ini akan membahas semua pertanyaan tersebut. Sebelumnya, kita harus memahami terlebih dahulu mengenai CRISPR-Cas.

Kembali ke dasar: Biologi CRISPR-Cas

Apa itu CRISPR-Cas?

Kata “CRISPR” adalah singkatan dari Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats. Jika dilihat dari nama panjangnya, kita akan mendapat sedikit petunjuk mengenai karakteristik CRISPR. CRISPR adalah serangkaian urutan DNA berulang yang pendek dan diselingi secara reguler oleh urutan DNA unik dengan ukuran serupa yang disebut spacer. Cas juga merupakan singkatan, yaitu CRISPR associated (Cas) genes (Grissa dkk., 2007). Rangkaian urutan CRISPR bersama dengan gen-gen Cas membentuk sistem CRISPR-Cas (Gasiunas & Siksnys, 2013).

CRISPR pertama kali ditemukan pada genom Escherichia coli pada tahun 1987 (Ishino dkk., 1987). Beberapa tahun kemudian, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa CRISPR-Cas ditemukan pada banyak prokariota (arkaea dan bakteri) (Grissa dkk., 2007). Sistem CRISPR-Cas yang ditemukan dalam berbagai prokariota telah diklasifikasikan ke dalam enam tipe berbeda (tipe I-VI) (Mohanraju dkk., 2016).

Apa fungsi CRISPR-Cas di dalam sel bakteri?

Pada tahun 2007 (20 tahun setelah CRISPR ditemukan), Horvath dkk., melaporkan hasil penelitiannya yang membuktikan bahwa sistem CRISPR-Cas tipe II berfungsi sebagai sistem imunitas adaptif bakteri untuk melawan virus yang menginfeksi (Barrangou dkk., 2007). Ketika virus menginfeksi bakteri, virus akan menginjeksikan materi genetikanya ke dalam sel bakteri. Fragmen DNA virus tersebut akan diintegrasikan ke dalam rangkaian CRISPR pada kromosom bakteri inang sebagai spacer baru. Urutan spacer ini berperan seperti genetic record atau memori dari infeksi sebelumnya, yang memampukan bakteri inang untuk melawan invasi virus yang sama di masa depan. Rangkaian CRISPR dalam bakteri akan diproses (transkripsi) untuk menghasilkan precursor-CRISPR RNA (pre-crRNA). Sementara itu, gen trans-activating CRISPR RNA (tracrRNA) ditranskripsikan secara terpisah dari rangkaian CRISPR dan berikatan dengan pre-crRNA melalu pasangan basa yang sesuai (komplemen) untuk membentuk molekul ganda pre-crRNA – tracrRNA. Molekul pre-crRNA kemudian dipotong oleh enzim RNase III untuk menghasilkan CRISPR RNA (crRNA) yang lebih pendek (~20 nukleotida) dan fungsional. Ketika bakteri diinfeksi oleh virus yang sama untuk kedua kalinya, molekul ganda crRNA-tracrRNA akan mengikat protein Cas9 dan kompleks nukleoprotein ini akan mengikat ke fragmen DNA virus yang memiliki urutan yang komplemen dengan urutan crRNA. Selanjutnya, protein Cas9 yang adalah enzim pemotong asam nukleat akan memotong DNA virus, sehingga virus tidak dapat meneruskan proses infeksinya (Jiang & Doudna, 2017).

Pengembangan sistem CRISPR-Cas sebagai teknologi genome editing: from nature to lab. bench

Jinek dkk. (2020), meneliti tentang molekul ganda crRNA-tracrRNA dan merekayasanya menjadi molekul RNA tunggal yang disebut single guide RNA (sgRNA). Molekul sgRNA tidak kehilangan fungsi dari molekul ganda crRNA-tracrRNA, yaitu dapat mengikat Cas9 dan membawanya ke urutan DNA yang komplemen untuk melakukan pemotongan DNA secara spesifik. Melihat potensi ini, Jinek dkk. menyadari bahwa CRISPR-Cas dapat dikembangkan menjadi teknologi genome editing yang baru. Genome editing adalah teknik untuk memanipulasi materi genetik organisme dengan menghapus, mengganti, atau memasukkan urutan DNA. Umumnya genome editing bertujuan untuk meningkatkan kualitas tumbuhan, hewan ternak, atau memperbaiki mutasi yang mengakibatkan penyakit genetik (OxfordLanguages).

CRISPR-Cas sebagai genome editing tool terdiri dari dua komponen yaitu, sgRNA dan protein Cas. Di dalam sel, sgRNA akan mengikat Cas dan mengantarkannya ke gen target. Setelah sgRNA dan Cas menempel pada urutan gen target, protein Cas yang adalah enzim nuklease akan memotong untai ganda DNA target. Jadi, protein Cas berfungsi seperti “gunting molekuler.” Kerusakan DNA ini memicu sel untuk melakukan perbaikan DNA yang cenderung mengakibatkan perubahan urutan DNA di tempat pemotongan. Perubahan urutan DNA ini dapat menonaktifkan gen yang menyebabkan suatu penyakit pada ternak atau manusia. Selain itu, peneliti juga dapat menambahkan potongan DNA ke dalam sel untuk menggantikan urutan gen yang termutasi dengan urutan gen yang normal, sehingga berpotensi menyembuhkan penyakit genetik.

Molekul sgRNA dapat disintesis di laboratorium dengan urutan basa nukelotida yang disesuaikan (custom) agar komplemen dengan urutan DNA target. Dengan demikian, Cas dapat diprogram oleh sgRNA sintetik untuk melakukan pemotongan gen dari berbagai organisme secara spesifik/tertarget. Kemampuan Cas yang dapat diprogram oleh sgRNA sintetik untuk memotong urutan DNA secara spesifik inilah yang dimanfaatkan oleh peneliti sebagai dasar molekuler dari teknologi deteksi SARS-CoV-2.

Aplikasi CRISPR-Cas untuk deteksi SARS-CoV-2

Feng Zhang dkk. di Broad Institute dari MIT dan Harvard, menggunakan Cas13a pada teknologi deteksi asam nukleat yang dinamakan Specific High-Sensitivity Enzymatic Reporter UnLOCKing (SHERLOCK). Protein Cas13a yang termasuk dalam sistem CRISPR-Cas tipe VI adalah enzim ribonuklease (RNase). Selain memotong RNA target, Cas13a juga memiliki aktivitas kolateral, yaitu dapat memotong molekul-molekul RNA non target yang terdapat di sekitarnya. Aktivitas kolateral ini teraktivasi ketika kompleks crRNA-Cas13a berikatan dengan RNA target. Cas13a dapat diprogram untuk mendegradasi RNA virus dengan menentukan urutan nukleotida pada crRNA agar dapat berikatan dengan RNA virus (Abudayyeh dkk., 2016).

Sebenarnya, kompleks crRNA-Cas13a yang mendasari sistem SHERLOCK sudah pernah direkayasa sebelumnya untuk mendeteksi virus Zika dan virus Dengue, dan memberikan hasil deteksi yang spesifik (Gootenberg dkk., 2017). Sistem SHERLOCK ini dikonfigurasi ulang oleh tim peneliti di Broad Institute menggunakan sgRNA sintetik yang dapat berikatan dengan urutan DNA tertentu dari SARS-CoV-2.

Teknologi SHERLOCK untuk deteksi SARS-CoV-2 dalam sampel pasien melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah inkubasi RNA yang telah diekstraksi dari pasien dengan reaksi amplifikasi isotermal pada suhu 42oC selama 25 menit. Tahap kedua adalah inkubasi reaksi dari tahap pertama dengan protein Cas13, sgRNA sintetik, dan molekul reporter pada suhu 37oC selama 30 menit. Tahap terakhir dilakukan dengan mencelupkan kertas strip uji ke dalam reaksi dari tahap kedua. Hasil ditunjukkan melalui sinyal visual yang muncul dalam waktu 5 menit (Broad Institute, 2020). Dengan demikian, teknologi SHERLOCK hanya membutuhkan waktu reaksi selama ±60 menit. Teknologi SHERLOCK menggunakan format tes berbasis kertas (lateral flow strip) yang mudah digunakan dan tidak membutuhkan prasarana laboratorium yang kompleks. Teknologi SHERLOCK diharapkan dapat menjadi alat deteksi SARS-CoV-2 yang efektif untuk membantu mencegah penularan.

Aplikasi CRISPR-Cas untuk terapi antivirus SARS-CoV-2

Aplikasi sistem CRISPR-Cas untuk membantu menanggulangi pandemi COVID-19 tidak terbatas hanya untuk deteksi SARS-CoV-2. Sistem CRISPR-Cas juga dapat diaplikasikan untuk terapi antivirus SARS-CoV-2, misalnya sistem Antibody and Cas Fusion (ABACAS). Pada ABACAS, Cas13 digabungkan dengan fragmen antibodi (Ab) spesifik. Kompleks Cas13-Ab akan mengikat ke protein S yang terdapat pada permukaan SARS-CoV-2. Protein S adalah protein yang memediasi infeksi virus SARS-Cov-2 melalui interaksi dengan reseptor ACE2 yang terdapat pada permukaan sel inang (Nalawansha & Samarasinghe, 2020).

Protein Cas13 menempel pada partikel virus. Dengan demikian, ketika virus masuk ke dalam sel inang (sel manusia), maka komponen CRISPR-Cas juga ikut masuk. Di dalam sel inang, RNA virus dan ABACAS akan dilepaskan. Protein Cas13 dari ABACAS akan menempel pada RNA virus, kemudian memotongnya sebelum RNA virus direplikasikan dan ditranslasikan di dalam sel inang. Penggunaan ABACAS dapat menghambat perbanyakan virus di dalam sel inang dengan mengganggu penempelan SARS-CoV-2 melalui protein S ke reseptor ACE2 dan memotong RNA virus di dalam sel yang terinfeksi. Akan tetapi, masih ada kelemahan dari terapi ini, yaitu penggunaan antibodi monoklonal yang memerlukan biaya yang tinggi dan kemungkinan terjadinya resistansi (Nalawansha & Samarasinghe, 2020).

Ringkasan

CRISPR-Cas adalah suatu sistem molekuler yang terdiri dari DNA dengan karakteristik yang khas dan protein (enzim) Cas yang memotong urutan DNA/RNA secara spesifik. Sistem CRISPR-Cas ditemukan secara alami di dalam sel prokariota dan berperan sebagai sistem imunitas untuk melawan virus yang menginfeksi. Ilmuwan merekayasa sistem alami ini menjadi suatu teknologi molekuler yang disebut genome editing tool. Akhir-akhir ini, teknologi CRISPR-Cas dikembangkan untuk membantu menanggulangi pandemi COVID-19. Misalnya, teknologi SHERLOCK yang menggunakan sistem CRISPR-Cas13a untuk mendeteksi SARS-Cov-2 dengan cepat, mudah dilakukan, dan akurat. Sistem CRISPR-Cas juga dikembangkan untuk terapi antivirus SARS-Cov-2. Misalnya, sistem ABACAS yang dapat memotong RNA virus sehingga menghentikan translasi dan replikasi genom virus di dalam sel yang terinfeksi. Selain itu, fragmen antibodi dari ABACAS dapat mengganggu interaksi antara protein S virus dan reseptor ACE2 sel inang, sehingga meminimalisir masuknya virus ke dalam sel inang.

Penulis: Edvan A. Suherman, M.Si. dan Jeanne E. Christian, M.Biomed.

Informasi detail dari artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami yang telah dipublikasikan di buku Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2020: Tetap Berkarya dalam Masa Pandemi COVID-19 (Tersedia di Perpustakaan CIT).

Referensi

Abudayyeh, O. O., J. S. Gootenberg, S. Konermann, J. Joung, I. M. Slaymaker, D. B. Cox, S.

Shmakov, K. S. Makarova, E. Semenova, L. Minakhin, K. Severinov, A. Regev, E. S. Lander, E. V. Koonin, & F. Zhang. 2016. C2c2 is a single-component programmable RNA-guided RNA-targeting CRISPR effector. Science, Vol. 353, No. 6299: hal. aaf5573-1 – aaf5573-9. https://doi.org/10.1126/science.aaf5573.

Broad Institute. 2020. Enabling coronavirus detection using CRISPR-Cas13: Open-access 

SHERLOCK research protocols and design resources. https://www.broadinstitute.org/news/enabling-coronavirus-detection-using-crispr-cas13-open-access-sherlock-research-protocols-and. Diakses pada tanggal 29 September 2020.

Broughton, J. P., X. Deng, G. Yu, dkk. 2020. CRISPR–Cas12-based detection of

SARS-CoV-2. Nature Biotechnology. Vol. 38: hal. 870-874. https://doi.org/10.1038/s41587-020-0513-4.

Gasiunas, G. dan V. Siksnys. 2013. RNA-dependent DNA endonuclease Cas9 of the CRISPR system: Holy Grail of genome editing? Trends in Microbiology Vol. 21, No. 11: hal. 562-567. https://doi.org/10.1016/j.tim.2013.09.001.

Grissa, I., G. Vergnaud, & C. Pourcel. 2007. The CRISPRdb database and tools to display

CRISPRs and to generate dictionaries of spacers and repeats. BMC bioinformatics. Vol. 8, No. 172: hal. 1-10. https://doi.org/10.1186/1471-2105-8-172.

Huremović, D. 2019. “Brief History of Pandemics (Pandemics Throughout History)”. Dalam Damir

Huremović (Ed.). Psychiatry of Pandemics: A Mental Health Response to Infection Outbreak. Switzerland: Springer Nature.  https://doi.org/10.1007/978-3-030-15346-5_2.

Ishino, Y., H. Shinagawa, K. Makino, M. Amemura, A. Nakata. 1987. Nucleotide sequence of the iap

gene, responsible for alkaline phosphatase isozyme conversion in Escherichia coli, and identification of the gene product. Journal of Bacteriology. Vol. 169, No. 12: hal. 5429-5433. doi: 10.1128/jb.169.12.5429-5433.1987.

Jiang, F. dan J. A. Doudna. 2017. CRISPR–Cas9 Structures and Mechanisms. Annual Review of 

Biophysics. Vol. 46: hal. 505-529. https://doi.org/10.1146/annurev-biophys-062215-010822.

Jinek, M., K. Chylinski, I. Fonfara, M. Hauer, J. A. Doudna, & E. Charpentier. 2012. A

programmable dual-RNA-guided DNA endonuclease in adaptive bacterial immunity. Science (New York, N.Y.), Vol. 337, No. 6096: hal. 816-821. https://doi.org/10.1126/science.1225829.

Nalawansha, D. A. dan K. T. G. Samarasinghe. 2020. Double-Barreled CRISPR Technology as a

Novel Treatment Strategy For COVID-19. ACS Pharmacology Translational Science. https://doi.org/10.1021/acsptsci.0c00071.

Zhang, W., R. H. Du, B. Li, X. S. Zheng, X. L. Yang, B. Hu, Y. Y. Wang, G. F. Xiao, B. Yan, Z. L.

Shi & P. Zhou. 2020. Molecular and serological investigation of 2019-nCoV infected patients: implication of multiple shedding routes. Emerging Microbes & Infections. Vol. 9, No. 1: hal. 386-389. doi: 10.1080/22221751.2020.1729071.

 

RELATED POSTS